Melankolis #0

Difraksi Kapsiasin

By: Wira Nagara
 
Dia mencintai perempuan yang jelas-jelas tidak mencintainya.
Dia tak peduli, baginya ketulusan adalah tabah dalam mendamba di antara luka.
Cinta sepihak tak membutuhkan balasan, ia hanya butuh ruang untuk berekspresi.
Lewat karya dia berbicara, merupa, menulis, bercerita pada dunia tentang perempuan yang dia damba sejak kelas satu SMA.

Sejak itu pula hidupnya kacau akan khayalan hidup bersama, yang dia tahu sedari awal angan terkadang tetap menjadi angan.
Ia tak akan pernah menjadi nyata, usaha sekeras apa pun akan tetap sia-sia bila memang tak ada cinta.

Dia selalu bermimpi tetapi dia tak pernah tidur, sebab malam adalah mendung paling baik untuk menerjemahkan rintik-rintik.
Hujan menjadi gulma di kelopak mata. Sulit dibasmi dan semakin liar.
Hidupnya hanya menangkap udara, tetapi dia tak pernah bernafas.
Cinta yang menghidupinya lenyap tanpa pertingkaian.
Itulah sebabnya dia tak pernah sedikitpun membiarkan sunyi membisu, sebab tenang adalah pembunuhan.

Jasadnya kini melayang-layang untuk menyampaikan pesan terakhir tanpa tereja oleh bibir.
Pipinya saling menampar satu sama lain. Mencabuti waktu yang dikhayalkan.
Menengahi pematang malam tanpa terpejam.

Dia sadar untuk tidak sadar. Dia menikmati cemburu atas dambaannya yang semakin erat menjalin rindu.
Iya, cintanya musnah di lain hati, tetapi dia tetap tak peduli.
Dia kalah tetapi tetap tak mau mengalah.
Padahal janji suci sudah sangat membentuk pagar untuk membatasi perasaan, tetapi di hatinya segala jeruji adalah lawan.
Cintak tak mengenal batas, katanya, dan jalanan semakin basah oleh air mata.

Dia melupakan keikhlasan.
Perihal orang-orang yang mencintai kesedihan.
Dalam kesunyian, dia menghapus sisa bahagianya di depan cermin.
Dalam kegelapan, dia menjadikan tubuhnya lilin.
Terang, menyala, kemudian mencair dalam putus asa.
 

Komentar

Postingan Populer